Struktur Molekul
Asam nukleat merupakan salah satu makromolekul
yang memegang peranan sangat penting dalam kehidupan organisme karena di
dalamnya tersimpan informasi genetik. Asam nukleat sering dinamakan juga polinukleotida
karena tersusun dari sejumlah molekul nukleotida sebagai monomernya. Tiap
nukleotida mempunyai struktur yang terdiri atas gugus fosfat, gula
pentosa, dan basa nitrogen atau basa nukleotida (basa N).
Ada dua macam asam nukleat, yaitu asam
deoksiribonukleat atau deoxyribonucleic acid (DNA) dan asam
ribonukleat atau ribonucleic acid (RNA). Dilihat dari
strukturnya, perbedaan di antara kedua macam asam nukleat ini terutama terletak
pada komponen gula pentosanya. Pada RNA gula pentosanya adalah ribosa, sedangkan
pada DNA gula pentosanya mengalami kehilangan satu atom O pada posisi C nomor
2’ sehingga dinamakan gula 2’-deoksiribosa (Gambar 2.1.b).
Perbedaan struktur lainnya antara DNA dan RNA
adalah pada basa N-nya. Basa N, baik pada DNA maupun pada RNA, mempunyai
struktur berupa cincin aromatik heterosiklik (mengandung C dan N) dan dapat
dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu purin dan pirimidin.
Basa purin mempunyai dua buah cincin (bisiklik), sedangkan basa pirimidin hanya
mempunyai satu cincin (monosiklik). Pada DNA, dan juga RNA, purin terdiri atas adenin
(A) dan guanin (G). Akan tetapi, untuk pirimidin ada perbedaan
antara DNA dan RNA. Kalau pada DNA basa pirimidin terdiri atas sitosin (C)
dan timin (T), pada RNA tidak ada timin dan sebagai gantinya terdapat urasil
(U). Timin berbeda dengan urasil hanya karena adanya gugus metil pada
posisi nomor 5 sehingga timin dapat juga dikatakan sebagai 5-metilurasil.
Gambar 2.1. Komponen-komponen asam nukleat
a) gugus fosfat b)
gula pentosa c) basa N
Di antara ketiga komponen monomer asam nukleat
tersebut di atas, hanya basa N-lah yang memungkinkan terjadinya variasi. Pada
kenyataannya memang urutan (sekuens) basa N pada suatu molekul asam nukleat
merupakan penentu bagi spesifisitasnya. Dengan perkataan lain, identifikasi
asam nukleat dilakukan berdasarkan atas urutan basa N-nya sehingga secara skema
kita bisa menggambarkan suatu molekul asam nukleat hanya dengan menuliskan
urutan basanya saja.
Nukleosida dan nukleotida
Penomoran posisi atom C pada cincin gula
dilakukan menggunakan tanda aksen (1’, 2’, dan seterusnya), sekedar untuk
membedakannya dengan penomoran posisi pada cincin basa. Posisi 1’ pada gula
akan berikatan dengan posisi 9 (N-9) pada basa purin atau posisi 1 (N-1)
pada basa pirimidin melalui ikatan glikosidik atau glikosilik (Gambar
2.2). Kompleks gula-basa ini dinamakan nukleosida.
Di atas telah disinggung bahwa asam nukleat
tersusun dari monomer-monomer berupa nukleotida, yang masing-masing terdiri
atas sebuah gugus fosfat, sebuah gula pentosa, dan sebuah basa N. Dengan
demikian, setiap nukleotida pada asam nukleat dapat dilihat sebagai nukleosida
monofosfat. Namun, pengertian nukleotida secara umum sebenarnya adalah
nukleosida dengan sebuah atau lebih gugus fosfat. Sebagai contoh, molekul ATP
(adenosin trifosfat) adalah nukleotida yang merupakan nukleosida dengan tiga
gugus fosfat.
Jika gula pentosanya adalah ribosa seperti halnya
pada RNA, maka nukleosidanya dapat berupa adenosin, guanosin, sitidin, dan uridin.
Begitu pula, nukleotidanya akan ada empat macam, yaitu adenosin monofosfat,
guanosin monofosfat, sitidin monofosfat, dan uridin monofosfat. Sementara itu,
jika gula pentosanya adalah deoksiribosa seperti halnya pada DNA, maka
(2’-deoksiribo)nukleosidanya terdiri atas deoksiadenosin, deoksiguanosin,
deoksisitidin, dan deoksitimidin.
Ikatan fosfodiester
Selain ikatan glikosidik yang menghubungkan gula
pentosa dengan basa N, pada asam nukleat terdapat pula ikatan kovalen melalui
gugus fosfat yang menghubungkan antara gugus hidroksil (OH) pada posisi 5’ gula
pentosa dan gugus hidroksil pada posisi 3’ gula pentosa nukleotida berikutnya.
Ikatan ini dinamakan ikatan fosfodiester karena secara kimia gugus
fosfat berada dalam bentuk diester (Gambar 2.2).
Gambar 2.2. Ikatan fosfodiester dan ikatan
glikosidik pada asam nukleat
Oleh karena ikatan fosfodiester menghubungkan
gula pada suatu nukleotida dengan gula pada nukleotida berikutnya, maka ikatan
ini sekaligus menghubungkan kedua nukleotida yang berurutan tersebut. Dengan
demikian, akan terbentuk suatu rantai polinukleotida yang masing-masing
nukleotidanya satu sama lain dihubungkan oleh ikatan fosfodiester.
Kecuali yang berbentuk sirkuler, seperti halnya
pada kromosom dan plasmid bakteri, rantai polinukleotida memiliki dua ujung.
Salah satu ujungnya berupa gugus fosfat yang terikat pada posisi 5’ gula
pentosa. Oleh karena itu, ujung ini dinamakan ujung P atau ujung 5’.
Ujung yang lainnya berupa gugus hidroksil yang terikat pada posisi 3’
gula pentosa sehingga ujung ini dinamakan ujung OH atau ujung 3’.
Adanya ujung-ujung tersebut menjadikan rantai polinukleotida linier mempunyai
arah tertentu.
Pada pH netral adanya gugus fosfat akan
menyebabkan asam nukleat bermuatan negatif. Inilah alasan pemberian nama ’asam’
kepada molekul polinukleotida meskipun di dalamnya juga terdapat banyak basa N.
Kenyataannya, asam nukleat memang merupakan anion asam kuat atau merupakan
polimer yang sangat bermuatan negatif.
Sekuens asam nukleat
Telah dikatakan di atas bahwa urutan basa N akan
menentukan spesifisitas suatu molekul asam nukleat sehingga biasanya kita
menggambarkan suatu molekul asam nukleat cukup dengan menuliskan urutan basa
(sekuens)-nya saja. Selanjutnya, dalam penulisan sekuens asam nukleat ada
kebiasaan untuk menempatkan ujung 5’ di sebelah kiri atau ujung 3’ di sebelah
kanan. Sebagai contoh, suatu sekuens DNA dapat dituliskan 5’-ATGACCTGAAAC-3’
atau suatu sekuens RNA dituliskan 5’-GGUCUGAAUG-3’.
Jadi, spesifisitas suatu asam nukleat selain
ditentukan oleh sekuens basanya, juga harus dilihat dari arah pembacaannya. Dua
asam nukleat yang memiliki sekuens sama tidak berarti keduanya sama jika
pembacaan sekuens tersebut dilakukan dari arah yang berlawanan (yang satu 5’→
3’, sedangkan yang lain 3’→ 5’).
Struktur tangga berpilin (double helix)
DNA
Dua orang ilmuwan, J.D.Watson dan F.H.C.Crick,
mengajukan model struktur molekul DNA yang hingga kini sangat diyakini
kebenarannya dan dijadikan dasar dalam berbagai teknik yang berkaitan dengan
manipulasi DNA. Model tersebut dikenal sebagai tangga berplilin (double
helix). Secara alami DNA pada umumnya mempunyai struktur molekul tangga
berpilin ini.
Model tangga berpilin menggambarkan struktur
molekul DNA sebagai dua rantai polinukleotida yang saling memilin membentuk
spiral dengan arah pilinan ke kanan. Fosfat dan gula pada
masing-masing rantai menghadap ke arah luar sumbu pilinan, sedangkan basa N
menghadap ke arah dalam sumbu pilinan dengan susunan yang sangat khas sebagai
pasangan – pasangan basa antara kedua rantai. Dalam hal ini, basa A pada satu rantai
akan berpasangan dengan basa T pada rantai lainnya, sedangkan basa G
berpasangan dengan basa C. Pasangan-pasangan basa ini dihubungkan oleh ikatan
hidrogen yang lemah (nonkovalen). Basa A dan T dihubungkan oleh ikatan
hidrogen rangkap dua, sedangkan basa G dan C dihubungkan oleh ikatan hidrogen
rangkap tiga. Adanya ikatan hidrogen tersebut menjadikan kedua rantai
polinukleotida terikat satu sama lain dan saling komplementer. Artinya,
begitu sekuens basa pada salah satu rantai diketahui, maka sekuens pada rantai
yang lainnya dapat ditentukan.
Oleh karena basa bisiklik selalu berpasangan
dengan basa monosiklik, maka jarak antara kedua rantai polinukleotida di
sepanjang molekul DNA akan selalu tetap. Dengan perkataan lain, kedua rantai
tersebut sejajar. Akan tetapi, jika rantai yang satu dibaca dari arah 5’ ke 3’,
maka rantai pasangannya dibaca dari arah 3’ ke 5’. Jadi, kedua rantai tersebut
sejajar tetapi berlawanan arah (antiparalel).
Gambar 2.3. Model
struktur tangga berpilin DNA
P = fosfat S =gula
A = adenin, G = guanin, C = sitosin, T =timin
Jarak antara dua pasangan basa yang berurutan
adalah 0,34 nm. Sementara itu, di dalam setiap putaran spiral terdapat 10
pasangan basa sehingga jarak antara dua basa yang tegak lurus di dalam
masing-masing rantai menjadi 3,4 nm. Namun, kondisi semacam ini hanya dijumpai
apabila DNA berada dalam medium larutan fisiologis dengan kadar garam rendah
seperti halnya yang terdapat di dalam protoplasma sel hidup. DNA semacam ini
dikatakan berada dalam bentuk B atau bentuk yang sesuai dengan model asli
Watson-Crick. Bentuk yang lain, misalnya bentuk A, akan dijumpai jika DNA
berada dalam medium dengan kadar garam tinggi. Pada bentuk A terdapat 11
pasangan basa dalam setiap putaran spiral. Selain itu, ada pula bentuk Z, yaitu
bentuk molekul DNA yang mempunyai arah pilinan spiral ke kiri. Bermacam-macam
bentuk DNA ini sifatnya fleksibel, artinya dapat berubah dari yang satu ke yang
lain bergantung kepada kondisi lingkungannya.
Modifikasi struktur molekul RNA
Tidak seperti DNA, molekul RNA pada umumnya
berupa untai tunggal sehingga tidak memiliki struktur tangga berpilin. Namun,
modifikasi struktur juga terjadi akibat terbentuknya ikatan hidrogen di dalam
untai tunggal itu sendiri (intramolekuler).
Dengan adanya modifikasi struktur molekul RNA,
kita mengenal tiga macam RNA, yaitu RNA duta atau messenger RNA
(mRNA), RNA pemindah atau transfer RNA (tRNA), dan RNA
ribosomal (rRNA). Struktur mRNA dikatakan sebagai struktur primer, sedangkan
struktur tRNA dan rRNA dikatakan sebagai struktur sekunder. Perbedaan di antara
ketiga struktur molekul RNA tersebut berkaitan dengan perbedaan fungsinya
masing-masing.
Sifat-sifat Fisika-Kimia Asam Nukleat
Di bawah ini akan dibicarakan sekilas beberapa
sifat fisika-kimia asam nukleat. Sifat-sifat tersebut adalah stabilitas asam
nukleat, pengaruh asam, pengaruh alkali, denaturasi kimia, viskositas, dan
kerapatan apung.
Stabilitas asam nukleat
Ketika kita melihat struktur tangga berpilin
molekul DNA atau pun struktur sekunder RNA, sepintas akan nampak bahwa struktur
tersebut menjadi stabil akibat adanya ikatan hidrogen di antara basa-basa yang
berpasangan. Padahal, sebenarnya tidaklah demikian. Ikatan hidrogen di antara
pasangan-pasangan basa hanya akan sama kuatnya dengan ikatan hidrogen antara
basa dan molekul air apabila DNA berada dalam bentuk rantai tunggal. Jadi,
ikatan hidrogen jelas tidak berpengaruh terhadap stabilitas struktur asam
nukleat, tetapi sekedar menentukan spesifitas perpasangan basa.
Penentu stabilitas struktur asam nukleat
terletak pada interaksi penempatan (stacking interactions) antara
pasangan-pasangan basa. Permukaan basa yang bersifat hidrofobik menyebabkan
molekul-molekul air dikeluarkan dari sela-sela perpasangan basa sehingga
perpasangan tersebut menjadi kuat.
Pengaruh asam
Di dalam asam pekat dan suhu tinggi, misalnya
HClO4 dengan suhu lebih dari 100ºC, asam nukleat akan mengalami
hidrolisis sempurna menjadi komponen-komponennya. Namun, di dalam asam mineral
yang lebih encer, hanya ikatan glikosidik antara gula dan basa purin saja yang
putus sehingga asam nukleat dikatakan bersifat apurinik.
Pengaruh alkali
Pengaruh alkali terhadap asam nukleat
mengakibatkan terjadinya perubahan status tautomerik basa. Sebagai
contoh, peningkatan pH akan menyebabkan perubahan struktur guanin dari bentuk
keto menjadi bentuk enolat karena molekul tersebut kehilangan sebuah proton.
Selanjutnya, perubahan ini akan menyebabkan terputusnya sejumlah ikatan
hidrogen sehingga pada akhirnya rantai ganda DNA mengalami denaturasi. Hal yang
sama terjadi pula pada RNA. Bahkan pada pH netral sekalipun, RNA jauh lebih
rentan terhadap hidrolisis bila dibadingkan dengan DNA karena adanya gugus OH
pada atom C nomor 2 di dalam gula ribosanya.
Denaturasi kimia
Sejumlah bahan kimia diketahui dapat menyebabkan
denaturasi asam nukleat pada pH netral. Contoh yang paling dikenal adalah urea
(CO(NH2)2) dan formamid (COHNH2). Pada
konsentrasi yang relatif tinggi, senyawa-senyawa tersebut dapat merusak ikatan
hidrogen. Artinya, stabilitas struktur sekunder asam nukleat menjadi berkurang
dan rantai ganda mengalami denaturasi.
Viskositas
DNA kromosom dikatakan mempunyai nisbah aksial
yang sangat tinggi karena diameternya hanya sekitar 2 nm, tetapi panjangnya
dapat mencapai beberapa sentimeter. Dengan demikian, DNA tersebut berbentuk
tipis memanjang. Selain itu, DNA merupakan molekul yang relatif kaku sehingga
larutan DNA akan mempunyai viskositas yang tinggi. Karena sifatnya itulah
molekul DNA menjadi sangat rentan terhadap fragmentasi fisik. Hal ini
menimbulkan masalah tersendiri ketika kita hendak melakukan isolasi DNA yang
utuh.
Kerapatan apung
Analisis dan pemurnian DNA dapat dilakukan sesuai
dengan kerapatan apung (bouyant density)-nya. Di dalam larutan yang
mengandung garam pekat dengan berat molekul tinggi, misalnya sesium klorid
(CsCl) 8M, DNA mempunyai kerapatan yang sama dengan larutan tersebut, yakni
sekitar 1,7 g/cm3. Jika larutan ini disentrifugasi dengan
kecepatan yang sangat tinggi, maka garam CsCl yang pekat akan bermigrasi ke
dasar tabung dengan membentuk gradien kerapatan. Begitu juga, sampel DNA
akan bermigrasi menuju posisi gradien yang sesuai dengan kerapatannya. Teknik
ini dikenal sebagai sentrifugasi seimbang dalam tingkat kerapatan (equilibrium
density gradient centrifugation) atau sentrifugasi isopiknik.
Oleh karena dengan teknik sentrifugasi tersebut
pelet RNA akan berada di dasar tabung dan protein akan mengapung, maka DNA
dapat dimurnikan baik dari RNA maupun dari protein. Selain itu, teknik tersebut
juga berguna untuk keperluan analisis DNA karena kerapatan apung DNA (ρ)
merupakan fungsi linier bagi kandungan GC-nya. Dalam hal ini, ρ
= 1,66 + 0,098% (G + C).
Gambar 2.4. Sentrifugasi seimbang dalam
tingkat kerapatan
Sifat-sifat Spektroskopik-Termal Asam Nukleat
Sifat spektroskopik-termal asam nukleat meliputi
kemampuan absorpsi sinar UV, hipokromisitas, penghitungan konsentrasi asam
nukleat, penentuan kemurnian DNA, serta denaturasi termal dan renaturasi asam
nukleat. Masing-masing akan dibicarakan sekilas berikut ini.
Absorpsi UV
Asam nukleat dapat mengabsorpsi sinar UV karena
adanya basa nitrogen yang bersifat aromatik; fosfat dan gula tidak memberikan
kontribusi dalam absorpsi UV. Panjang gelombang untuk absorpsi maksimum baik
oleh DNA maupun RNA adalah 260 nm atau dikatakan λmaks = 260
nm. Nilai ini jelas sangat berbeda dengan nilai untuk protein yang mempunyai λmaks
= 280 nm. Sifat-sifat absorpsi asam nukleat dapat digunakan untuk
deteksi, kuantifikasi, dan perkiraan kemurniannya.
Hipokromisitas
Meskipun λmaks untuk DNA dan RNA
konstan, ternyata ada perbedaan nilai yang bergantung kepada lingkungan di
sekitar basa berada. Dalam hal ini, absorbansi pada λ 260 nm (A260)
memperlihatkan variasi di antara basa-basa pada kondisi yang berbeda. Nilai
tertinggi terlihat pada nukleotida yang diisolasi, nilai sedang diperoleh pada
molekul DNA rantai tunggal (ssDNA) atau RNA, dan nilai terendah dijumpai pada
DNA rantai ganda (dsDNA). Efek ini disebabkan oleh pengikatan basa di dalam
lingkungan hidrofobik. Istilah klasik untuk menyatakan perbedaan nilai
absorbansi tersebut adalah hipokromisitas. Molekul dsDNA dikatakan relatif
hipokromik (kurang berwarna) bila dibandingkan dengan ssDNA. Sebaliknya, ssDNA
dikatakan hiperkromik terhadap dsDNA.
Penghitungan konsentrasi asam nukleat
Konsentrasi DNA dihitung atas dasar nilai A260-nya.
Molekul dsDNA dengan konsentrasi 1mg/ml mempunyai A260 sebesar
20, sedangkan konsentrasi yang sama untuk molekul ssDNA atau RNA mempunyai A260
lebih kurang sebesar 25. Nilai A260 untuk ssDNA dan RNA
hanya merupakan perkiraan karena kandungan basa purin dan pirimidin pada kedua
molekul tersebut tidak selalu sama, dan nilai A260 purin
tidak sama dengan nilai A260 pirimidin. Pada dsDNA, yang
selalu mempunyai kandungan purin dan pirimidin sama, nilai A260 -nya
sudah pasti.
Kemurnian asam nukleat
Tingkat kemurnian asam nukleat dapat diestimasi
melalui penentuan nisbah A260 terhadap A280.
Molekul dsDNA murni mempunyai nisbah A260 /A280
sebesar 1,8. Sementara itu, RNA murni mempunyai nisbah A260
/A280 sekitar 2,0. Protein, dengan λmaks
= 280 nm, tentu saja mempunyai nisbah A260 /A280
kurang dari 1,0. Oleh karena itu, suatu sampel DNA yang
memperlihatkan nilai A260 /A280 lebih dari
1,8 dikatakan terkontaminasi oleh RNA. Sebaliknya, suatu sampel DNA yang
memperlihatkan nilai A260 /A280 kurang
dari 1,8 dikatakan terkontaminasi oleh protein.
Denaturasi termal dan renaturasi
Di atas telah disinggung bahwa beberapa senyawa
kimia tertentu dapat menyebabkan terjadinya denaturasi asam nukleat. Ternyata,
panas juga dapat menyebabkan denaturasi asam nukleat. Proses denaturasi ini
dapat diikuti melalui pengamatan nilai absorbansi yang meningkat karena molekul
rantai ganda (pada dsDNA dan sebagian daerah pada RNA) akan berubah menjadi
molekul rantai tunggal.
Denaturasi termal pada DNA dan RNA ternyata
sangat berbeda. Pada RNA denaturasi berlangsung perlahan dan bersifat acak
karena bagian rantai ganda yang pendek akan terdenaturasi lebih dahulu daripada
bagian rantai ganda yang panjang. Tidaklah demikian halnya pada DNA. Denaturasi
terjadi sangat cepat dan bersifat koperatif karena denaturasi pada kedua ujung
molekul dan pada daerah kaya AT akan mendestabilisasi daerah-daerah di
sekitarnya.
Suhu ketika molekul asam nukleat mulai mengalami
denaturasi dinamakan titik leleh atau melting temperature (Tm).
Nilai Tm merupakan fungsi kandungan GC sampel DNA, dan
berkisar dari 80 ºC hingga 100ºC untuk molekul-molekul DNA yang panjang.
DNA yang mengalami denaturasi termal dapat
dipulihkan (direnaturasi) dengan cara didinginkan. Laju pendinginan berpengaruh
terhadap hasil renaturasi yang diperoleh. Pendinginan yang berlangsung cepat
hanya memungkinkan renaturasi pada beberapa bagian/daerah tertentu. Sebaliknya,
pendinginan yang dilakukan perlahan-lahan dapat mengembalikan seluruh molekul
DNA ke bentuk rantai ganda seperti semula. Renaturasi yang terjadi antara
daerah komplementer dari dua rantai asam nukleat yang berbeda dinamakan hibridisasi.
Superkoiling DNA
Banyak molekul dsDNA berada dalam bentuk sirkuler
tertutup atau closed-circular (CC), misalnya DNA plasmid dan
kromosom bakteri serta DNA berbagai virus. Artinya, kedua rantai membentuk
lingkaran dan satu sama lain dihubungkan sesuai dengan banyaknya putaran
heliks (Lk) di dalam molekul DNA tersebut.
Sejumlah sifat muncul dari kondisi sirkuler DNA.
Cara yang baik untuk membayangkannya adalah menganggap struktur tangga berpilin
DNA seperti gelang karet dengan suatu garis yang ditarik di sepanjang gelang
tersebut. Jika kita membayangkan suatu pilinan pada gelang, maka deformasi yang
terbentuk akan terkunci ke dalam sistem pilinan tersebut. Deformasi inilah yang
disebut sebagai superkoiling.
Interkalator
Geometri suatu molekul yang mengalami
superkoiling dapat berubah akibat beberapa faktor yang mempengaruhi pilinan
internalnya. Sebagai contoh, peningkatan suhu dapat menurunkan jumlah pilinan,
atau sebaliknya, peningkatan kekuatan ionik dapat menambah jumlah pilinan.
Salah satu faktor yang penting adalah keberadaan interkalator seperti etidium
bromid (EtBr). Molekul ini merupakan senyawa aromatik polisiklik bermuatan
positif yang menyisip di antara pasangan-pasangan basa. Dengan adanya EtBr
molekul DNA dapat divisualisasikan menggunakan paparan sinar UV.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar